Warung Bebas

Monday 31 October 2011

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak

Wahai saudaraku muslim! Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Artinya, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka{laki-laki}atas sebagian yang lain {wanita}dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)

Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin bagi para wanita dan ini sesuai dengan fitrah dan naluri manusia, agar alam ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Maka bagi laki-laki memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik dan benar yang akan menjamin kebahagian dunia dan akhirat. Dan pendidikan yang paling penting adalah mengajarkan mereka agama dan adab-adab Islam sebagai realisasi dalam meneladani Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan meniti kehidupan sesuai dengan ajarannya. Wahai para ayah ajarkan dan didiklah anak-anak kalian dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih.

Ajarkan juga pokok-pokok keimanan yang telah diterangkan oleh Al-Qur‘an dan biasakanlah mereka untuk berpegang teguh dengan rukun-rukun Islam.

Ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian untuk mencintai Allah, tancap-kan keimanan, kecintaan, penghormat-an, dan pengagungan terhadap Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam hati mereka. Mereka wajib untuk menaati apa yang diperin-tahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, membenarkan setiap berita yang beliau sampaikan dan menjauhi apa yang dilarangnya dan tidak beribadah kepada Allah, melain-kan sesuai dengan apa yang dia syariatkan. Barang siapa yang berpaling dari petunjuknya, maka dia termasuk ahlul bid’ah.

Ajarkan mereka untuk mencintai sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia sebagai imam yang telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Terangkan kepada mereka bagaimana sahabat beribadah, berakhlak dengan akhlak yang mulia, berilmu yang luar biasa, bersungguh-sungguh dalam beragama. Dan terangkan juga tentang jihad dan perjuangan mereka di jalan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Hingga akhirnya melalui mereka Allah membuka hati dan telinga umat manusia, membuka negara-negara dan kerajaan-kerajaan, dan menghukum orang orang kafir dan munafik dengan kehinaan.


Dan terangkan juga tentang sejarah hidup mereka yang luar biasa, bagai-mana kebenaran Iman mereka dan sempurnanya mereka di dalam mengikuti Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , dalam beribadah, berjihad dan menginfaqkan harta yang amat banyak dalam rangka untuk mencari ridha Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Dan tanamkan kepada mereka bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang mau mengikuti Sahabat Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan orang yang celaka adalah yang mencela, mendiskreditkan mereka serta menempuh jalan kehidu-pan selain jalan mereka.

Dan perintahkan kepada mereka untuk menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, perintahkan anak laki-laki supaya berjamaah di masjid bersama kaum muslimin, dan yang perempuan supaya berjamaah bersama ibu mereka di rumah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman : Artinya, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepa-damu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.”
(Thaha: 132)

Dan juga pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan ketika mereka berumur sepuluh tahun, jauhkan mereka dari kawan yang jelek. Tumbuhkanlah mereka dengan ahklaq ahlu iman, seperti berbakti kepada orang tua, silaturahim, bergaul dengan baik terhadap saudara seagama, senang bersedekah, berbuat yang ma‘ruf dan kebaikan, menghormati tetangga dan tamu, dan mencegah dari perbuatan jelek serta menyakiti sesama manusia.

Dan ajarkan juga tentang keimanan kepada qadla dan qadar, ajarkan agar selalu menghadapi takdir dengan menyerahkannya kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang mengatur seluruh alam. Karena sesungguhnya Allah yang memberi dan Allah yang memgambil, segala sesuatu datang dari sisi-Nya sesuai dengan waktu yang ditentukan-Nya. Orang yang berbahagia adalah orang yang beriman kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya serta berusaha keras mencari jalan-jalan (wasilah) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Orang yang celaka adalah orang yang menuyelisihi-Nya, bermaksiat terhadap perintah-Nya, menentang-Nya, kufur terhadap-Nya, benci terha-dap ketentuan-Nya dan berpaling dari takdir-Nya.

Jauhilah perkara-perkara yang mengantarkan kepada kemurkaan Allah Subhannahu wa Ta’ala yang mengakibatkan dimasuk-kan ke dalam api neraka bersama orang-orang kafir Allah Ta‘ala berfirman,

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu menger-jakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6)

Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, dengan membuka pintu-pintu kebaikan kepada anak dan istri kalian dan selalu mengarahkan mereka kepada kebaikan-kebaikan tersebut, selalu memberi dorongan kepada mereka untuk melaksanakannya, dan hendaknya kalian menjadi teladan bagi seluruh anggota keluarga.

Jangan sekali-kali meremehkan pendidikan terhadap keluarga kalian, dan jangan menganggap ringan dalam mengarahkan dan menunjuki mereka didalam kebaikan, karena kalian bertanggung jawab atas mereka.

Bersabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,“Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin amanah yang diembankan kepadanya; apakah dia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai seseorang ditanyai tentang keluarganya”
(HR. An-Nasai)

Dan bersemangatlah dalam mendidik mereka di dalam kebaikan dunia dan akhirat. Semoga Allah menjadikan kita seperti orang-orang yang Allah firmankan,

Artinya, “Yaitu surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesuda-han itu.”
(Ar-Ra’d : 23-24)

Dan bersungguh-sungguhlah dalam mengajarkan mereka tentang Kitabullah dan as-Sunnah serta atsar-atsar (perikehidupan) salafusholih, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada kalian lebih dari yang kalian harapkan, dan akan mengamankan kalian dari mara bahaya apa pun, akhirnya Allah akan mengumpulkan kalian bersama anak dan istri kalian disurga-surga dan akan duduk ditempat orang-orang yang terhormat.

Allah berfirman : Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
(At-Thur : 21)

Sesungguhnya seorang ayah apabila memberikan perhatian serius di dalam mendidik anak dan istrinya serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya, maka ia ibarat seseorang yang menebarkan di atas bumi yang subur benih-benih yang paling bermanfaat dan paling baik, yang kelak dengannya akan mendatangkan buah yang melim-pah dan hasil (panen) yang baik.

Tetapi apabila meremehkan pendidikan keluarga dan merasa cukup dengan sekedar memberikan makan, minum, pakaian dan lainnya, kemudian ia tinggalkan begitu saja seperti bina-tang ternak, tidak mengetahui yang halal dan yang haram, dan tidak menunaikan kewajiban dan tanggung jawab, dan tidak ada rasa penghormatan kepada yang tua dan tidak ada belas kasihan terhadap yang muda, maka yang seperti itu justru akan menjadi azab bagi diri mereka, keluarga dan masyarakat seluruhnya.

Padahal setiap muslim akan ditanya di hadapan Allah Subhannahu wa Ta’ala tentang beban tanggung jawab yang dipikulnya. Apakah ia tunaikan dan pelihara atau malah justru melalaikan dan menyia-nyiakannya.

Sesungguhnya anak-anak kita, belahan hati kita adalah pemuda-pemuda di hari ini dan merupakan generasi penerus untuk masa depan, jangan kalian melupakan doa untuk mereka, supaya mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah Subhannahu wa Ta’ala agar menempuh jalan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.

Artinya, “Ya Rabb kami, anugerah-kanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Sumber : Buletin, “al-Washiah bil Ahl wal Aulad.” (Azhar Khalid Saif, Lc.)

Demikian tadi kawan artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak dan semoga artikel mengenai Untaian Wasiat Untuk Keluarga dan Anak-Anak ini dapat bermanfaat kawan.

Friday 21 October 2011

Hawa Nafsu Dalam Agama

Hawa Nafsu Dalam Agama

Seorang muslim hendaknya merenungkan mengenai diri dan hawa nafsunya.
Andaikan sampai berita kepada Anda bahwa seseorang telah mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian orang lain mencaci maki Nabi Daud ‘alaihissalam. Sedangkan orang yang ketiga mencaci maki Umar atau Ali radhiyallahu ‘anhuma. Dan yang keempat mencaci maki syaikh Anda. Sementara orang yang kelima, mencaci maki syaikh orang lain.

Apakah amarah dan usaha Anda untuk memberikan hukuman dan pelajaran kepada mereka telah sesuai dengan ketentuan syari’at? Yakni apakah kemarahan Anda kepada orang pertama dan kedua hampir sama kadarnya, namun lebih dahsyat jika dibandingkan kepada yang lainnya?

Apakah kemarahan Anda kepada orang yang ketiga lebih ringan kadarnya dibandingkan dua orang yang pertama namun lebih keras dibandingan dua sisanya? Apakah kemarahan Anda kepada orang yang keempat dan kelima hampir sama kadarnya, namun jauh lebih lunak dibandingkan dengan yang sebelumnya?

Misalkan pula Anda membaca sebuah ayat, kemudian nampak bagi Anda bahwa ayat tersebut sesuai dengan pendapat imam anda. Kemudian anda mendapati ayat lain dan nampak oleh anda dari ayat tersebut bahwa ia menyalahi ucapan yang lain dari imam anda tersebut.

Apakah penilaian anda mengenai keduanya sama? Yaitu anda tidak akan peduli untuk mencari kejelasan dari dua ayat tersebut dengan mengkajinya secara seksama agar menjadi jelas benar atau tidaknya atas pemahaman anda tadi dengan cara membaca sepintas.

Misalkan pula anda mendapatkan dua hadits yang tidak anda ketahu shahih atau dho’ifnya. Salah satunya sesuai dengan pendapat imam anda sedangkan yang satunya lagi menyalahinya. Apakah pandangan anda terhadap dua hadits tersebut sama tanpa anda peduli (untuk mengetahui secara ilmiyyah) apakah kedua hadits tersebut shahih atau dho’if?

Misalkan pula anda memperhatikan suatu masalah yang imam anda mempunyai suatu pendapat tentangnya, dan (ulama) lain menyalahi pendapat tersebut.

Apakah hawa nafsu anda yang lebih berperana. dalam melakukan tarjih salah satu dari dua pendapat tadi? Ataukah anda menelitinya supaya anda dapat mengetahui mana yang rajih dari keduanya dan anda dapat menjelaskan kerajihannya tersebut.


Misalkan pula ada seseorang yang anda cintai dan yang lain anda benci. Keduanya berselisih dalam suatu masalah. Kemudian anda dimintai pendapat tentang perselisihan tersebut. Padahal (anda tidak mengetahui duduk persoalannnya sehingga) anda tidak mungkin dapat menghukuminya. Ketika anda meneliti permasalahan tersebut, apakah hawa nafsu anda yang berperan sehingga lebih memihak orang yang anda cintai?

Misalkan pula ada tiga fatwa dari ulama dalam permasalahan yang berbeda.
Satu dari anda sendiri, yang kedua dari orang yang engkau cintai, dan fatwa ketiga dari orang yang tidak engkau sukai. Dan setelah engkau teliti fatwa kedua teman anda tersebut, maka anda nilai keduanya benar pula. Kemudian sampai berita kepada anda bahwa ada seorang alim yang mengeritik salah satu dari ketiga fatwa tersebut dan mengingkarinya dengan sangat keras. Apakah anda mempunyai sikap yang sama apabila fatwa yang dikritik itu adalah fatwa anda atau fatwa sahabat anda atau fatwa orang yang tidak anda sukai?

Misalkan pula anda mengetahui seseorang berbuat kemunkaran dan anda berhalangan untuk mencegahnya. Kemudian sampai kepada anda bahwa ada seorang ahli ilmu yang mengingkari orang tersebut dengan sangat kerasnya.
Maka apakah anggapan baik anda akan sama apabila yang mengingkari itu teman anda atau musuh anda, begitu pula apabila orang yang diingkarinya itu teman anda atau musuh anda?

Periksalah diri anda! Anda akan dapatkan diri anda sendiri ditimpa musibah dengan perbuatan maksiat atau kekurangan dalam hal Dien. Juga engkau dapati orang yang anda benci ditimpa mushibah dengan melakukan kemaksiatan pula dan kekuranga lainnya dalam syari’at yang tidak lebih berat dari maksiat yang menimpamu.

Maka apakah engkau dapati kebenciannmu kepada oarang tersebut (disebabkan maksiat atau kekuarangan dalam syari’at) sama dengan kebencanmu kepada dirimu sendiri? Dan apakah engkau dapati kemarahannmu kepada dirimu sendiri sama dengan kemarahanmu kepadanya?

Pintu-pintu hawa nafsu tidak tehitung banyaknya. Saya mempunyai pengalaman pribadi ketika saya memperhatikan suatu permasalahan yang saya anggap bahwa hawa nafsu tidak ikut tercampur dalam masalah tersebut. Saya mendapatkan satu pengertian dalam masalah tersebut, maka saya menetapkannya dengan satu ketetapan yang saya anggap baik.

Kemudian setelah itu saya melihat sesuatu yang membuat cacat ketepan tadi. Lalu saya gigih mempertahankan kesalahan tadi dan jiwaku menyuruhku untuk memberikan pembelaan dan menutup mata, serta menolak untuk mengadakan penelitian lebih lanjut secara mendalam. Hal ini dikarenakan ketika saya menetapkan pengertian pertama yang saya kagumi itu, hawa nafsu saya condong untuk membenarkannya. Padahal belum ada satu orangpun yang mengetahui hal ini.

Maka bagaimana seandainya hal tersebut sudah saya sebar luaskan kepada khalayak ramai, kemudian setelah itu tampak bagiku bahwa pengertian tersebut salah? Maka bagaimana pula apabila kesalahan tersebut bukan saya sendiri yang mengetahuinya melainkan orang lain yang mengkritikku? Maka bagaimana pula jika orang yang mengkritikku adalah orang yang aku benci?

Hal ini bukan berarti bahwa seorang alim dituntut untuk tidak mempunyai hawa nafsu karena hal ini diluar kemampuannya. Tapi kewajiban seorang alim adalah mengoreksi diri dan hawa nafsunya supaya dia mengetahui kemudian mengekangnya dan memperhatikan dengan seksama dalam hal kebanaran sebagai suatu kebenaran. Apabila jelas baginya bahwa kebenaran tersebut menyelisihi hawa nafsunya, maka dia harus mengutamakan kebenaran daripada mengikuti hawa nafsunya.

Seorang alim terkadang lalai dalam mengawasi hawa nafsunya. Ia bersikap toleran sehingga dirinya condong kepada kebatilan dan membela kebatilan tersebut. Dia menyangka bahwa dirinya belum menyimpang dari kebenaran. Dia menyangka pula bahwa dirinya tidak sedang memusuhi kebenaran. Tidak ada orang yang selamat dari perbuatan ini kecuali orang yang ma’shum Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Hanya saja para ulama bertingkat-tingkat dalam sikapnya terhadap hawa nafsu. Diantara mereka ada yang sering terbawa arus hawa nafsunya sampai melampaui batas sehingga orang yang tidak mengetahui tabiat manusia dan pengaruh hawa nafsu yang demikian besar menyangka bahwa si alim tadi melakukan kesalahan yang fatal dengan sengaja. Diantara ulama juga ada orang yang dapat mengekang hawa nafsunya sehingga jarang sekali mengikuti hawa nafsunya.

Oleh sebab itu barangsiapa sering membaca buku-buku dari penulis yang sama sekali tidak menyandarkan ijthad mereka kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka dia akan banyak mendapatkan keanehan. Hal ini tidak mudah diketahui kecuali oleh orang-orang yang hawa nafsunya tidak condong kepada buku-buku tersebut, yaitu orang yang condong kepada kebenaran yang bertentangan dengan buku-buku tersebut.

Kalau hawa nafsunya cenderung kepada buku-buku tersebut dan sudah dikuasai hawa nafsunya, maka dia menyangka bahwa orang-orang yang sependapat dengannya itu terbebas dari mengikuti hawa nafsu, sedangkan orang-orang yang bertentangan dengannya adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.

Orang salaf dahulu ada yang berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia terjerumus ke dalam kesalahan pada sisi yang lain. Seperti seorang hakim yang mengadili dua orang yang berselisih. Orang pertama adalah saudara kandungnya sedangkan yang kedua adalah musuhnya.

Ia berlebihan dalam mengekang hawa nafsunya sampai ia menzholimi saudara kandungnya sendiri. Ia seperti orang yang berjalan di tepi jurang yang curam di kanan kirinya, berusaha menghindari jurang yang disebelah kanan namun berlebihan sehingga ia terjatuh ke dalam jurang yang di sebelah kirinya.

(Diterjemahkan dari buku At-Tankil bi Maa fi Ta’nibil Kautsari minal Abathil, karya Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani bagian keempat: Al-Qaid ila Tashih Al-Aqaid hal.196-198 )
Artikel : fariqgasimanuz.wordpress.com

Demikian tadi kawan artikel mengenai Hawa Nafsu Dalam Agama dan semoga artikel mengenai Hawa Nafsu Dalam Agama bermanfaat kawan.

Monday 17 October 2011

Jangan Berduka Dan Bersedih

Jangan Berduka Dan Bersedih

Hati tenang, bahagia, dan hilangnya kegundahan adalah dambaan setiap insan.

Insan yang berakal menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah dalam bukunya, al-Wasaailu al-Mufaidah lil Hayatatis Sa’idah mengetahui bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan yang ia jalani dengan bahagia dan tenang. Kehidupan ini pendek sekali, lanjut Syaikh As-Sa’di, maka tak sepantasnya memperpendek dengan kesedihan dan larut dalam kesusahan.

Jika seorang hamba ditimpa musibah atau takut akan sebuah musibah hendaklah membandingkan antara nikmat-nikmat yang ia dapatkan, baik dalam urusan agama atau dunia dengan musibah yang menimpanya. Dengan membandingkan akan jelas baginya betapa banyak nikmat yang dia dapatkan dan tertutupilah musibah yang menimpanya.

Selanjutnya Syaikh as-Sa’di menyarankan, hendakhnya juga membandingkan antara kemungkinan bahaya yang akan menimpanya dengan banyaknya kemungkinan akan dapat selamat darinya. Jangan sampai kemungkinan yang lemah dapat mengalahkan kemungkinan-kemungkinan kuat dan banyak. Dengan demikian, akan hilanglah kesedihan dan perasaan takutnya.

Juga memperkirakan hal paling besar yang dapat menimpanya, kemudian menyiapkan mental untuk menghadapi bila memang terjadi, berusaha mencegah apa-apa yang masih belum terjadi dan menghilangkan atau paling tidak meminimalisir musibah yang sudah terjadi.


Bila Tak Kesampaian

Bila seseorang dihadapkan dengan ketakutan , sakit, kekurangan atau tidak tercapai keinginannya, hendaklah dihadapi dengan tenang dan kesiapan mental, bahkan dia harus siap menghadapi keadaan yang lebih berat sekalipun, sebab, kesiapan mental dalam menghadapi musibah akan mengecilkan musibah tersebut dan menghilangkan bobotnya.


Terutama bila dia berusaha melawan sesuai kemampuan, sehingga dapat memadukan antara kesiapan mental dan usaha maksimal yang dapat mengalihkan perhatian dari musibah yang akan dating. Dan yang lebih penting lagi adalah selalu memperbarui kekuatan menghadapi musibah disertai dengan tawakkal dan yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala.

Jika hati bersandar kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, bertawakal kepada-Nya, tidak menyerahkan pada prasangka-prasangka buruk juga tidak dikuasai khayalan-khayalan negative, yakin serta sungguh-sungguh berharap atas karunia Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, maka akan terusirlah perasaan sedih dan hilanglah berbagai macam penyakit fisik dan jiwa.


Akan dicukupkan

Hati bisa mendapatkan kekuatan, kelapangan dan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan. Banyak rumah sakit yang penuh dengan pasien yag sakit karena prasangka-prasangka buruk dan khayalan-khayalan menyesatkan. Banyak orang yang kuat hatinya tapi masih terpengaruh dengan hal tersebut, apalagi orang yang memang lemah hatinya.

Dan betapa sering hal tersebut menyebabkan kedunguan dan kegilaan, kata Syaikh as-Sa’di. Orang yang sehat dan selamat adalah yang diselamatkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’Ala dan diberi-Nya taufik untuk berusaha mendapatkan faktor-faktor yang bias menguatkan hatinya dan mengusik kegelisahannya.

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya”. (Ath-Thalaq: 3).

Artinya Allah Subhaanahu wa Ta’Ala akan mencukupkan untuknya semua apa yang dia butuhkan dari urusan agama dan dunianya.

Maka orang yang bertawakal kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala, hatinya kuat. Tidak dapat dipengaruhi prasangka-prasangka buruk, tidak dapat digoncang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi, sebab dia tahu hal itu termasuk indikasi lemahnya jiwa dan perasaan takut yang tidak beralasan.

Dia tahu, Allah Subhaanahu wa Ta’Ala akan menjamin sepenuhnya orang yang bertawakal kepada-Nya, dia yakin kepada Allah Subhaanahu wa Ta’Ala dan tenang karena percaya akan janji-Nya. Dengan demikian, hilanglah duka dan gelisah. Kesulitan berubah menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kegembiraan dan perasaan takut menjadi keimanan.

Abu Abdil Ghany (Majalah Nabila)
Diketik ulang oleh : Ummu ‘Umar dari Majalah Nabila (2004)

Artikel Dari : jilbab.or.id

Demikian tadi kawan artikel mengenai Jangan Berduka Dan Bersedih dan semoga artikel mengenai Jangan Berduka Dan Bersedih bermanfaat kawan.

Thursday 13 October 2011

Kamar Untuk Orang Tua

Kamar Untuk Orang Tua
Berikut ini adalah kisah tentang sebuah kamar yang disiapkan oleh anaknya nanti bila telah mempunyai rumah.Dimana sang anak akan meletakkan kamar untuk orang tua
nya sendiri.Semoga kita bisa mengambil pelajaran, hikmah dan ibrah dari kisah berikut ini.

Ibu itu duduk di suatu sore membantu anak-anaknya mengulangi pelajaran mereka…Ia memberikan sebuah buku gambar kepada anaknya yang berusia 4 tahun agar tidak mengganggunya memberikan penjelasan kepada kakak-kakaknya yang lain.

Tiba-tiba saja ia teringat bahwa ia belum menyiapkan makan malam untuk ayah suaminya yang telah lanjut usia yang kebetulan tinggal bersama mereka di rumah itu, namun kamarnya terpisah dari bangunan utama rumah itu. Ia memang selalu berusaha berkhidmat kepada ayah mertuanya itu sedapat mungkin, dan suaminya ridha dengan apa yang ia lakukan kepada sang ayah yang tidak lagi mampu meninggalkan kamarnya karena kesehatannya yang lemah.

Ia segera membawa makanan untuknya dan menanyakannya jika ia membutuhkan bantuan yang lain. Setelah itu, wanita itupun pergi dan kembali berkumpul bersama dengan anak-anaknya…


Ia memperhatikan si bungsu asyik menggambar lingkaran dan persegi empat dengan memberinya kode…Ia pun bertanya kepadanya:

“Apa yang sedang engkau gambar ini, Sayang?”

Dengan polos, si bungsu itu menjawab:

“Aku sedang menggambar rumah yang nanti akan aku tinggali ketika aku dewasa dan menikah.”

Betapa bahagianya ibu muda itu mendengar jawaban si bungsu.

“Di mana engkau akan tidur nantinya?”

Si bungsu itupun mulai menjelaskan setiap kotak yang digambarnya. Ini kamar tidur. Ini adalah dapur dan ini adalah ruang untuk para tamu. Tinggallah sebuah kotak yang tersendiri di luar lingkaran yang dibuatnya. Kotak itu terpisah dari semua kotak yang digambarnya.

Sang ibu muda itu benar-benar heran. Maka ia bertanya padanya:

“Mengapa kamar ini berada di luar rumah sendirian, terpisah dari kamar-kamar lainnya?”

“Kamar itu untuk ibu…Aku akan menempatkan ibu di sana seperti sekarang kakekku hidup,” jawab si bungsu.

Bagai petir hebat menyambarnya, ibu muda itu benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan oleh putra bungsunya.

Ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri: apakah aku akan tinggal sendiri di kamar luar rumah itu tanpa bisa menikmati obrolan bersama anakku dan cucu-cucuku ketika aku sudah tidak mampu lagi bergerak? Siapa yang akan kuajak berbicara ketika itu? Apakah aku akan menghabiskan umurku dalam kesendirian di antara 4 tembok tanpa dapat mendengarkan suara anggota keluargaku yang lain?

Ia segera memanggil pembantunya…dan dengan cepat ia segera memindahkan semua perabotan yang ada di kamar untuk menerima tamu-kamar yang biasanya paling indah-ke kamar mertuanya di halaman dan mengganti isinya dengan semua perabotan yang ada di kamar mertuanya. Dan ketika suaminya kembali, ia benar-benar terkejut dengan surprise itu.

“Mengapa tiba-tiba terjadi perubahan seperti ini?” tanyanya.

Ia menjawab dengan air mata yang terus menerus mengalir di matanya:

“Aku memilih kamar terindah untuk kelak kita, aku dan engkau, tinggali jika Allah memberikan umur panjang kepada kita dan kita tidak lagi mampu bergerak…Biarlah para tamu saja yang tidur di kamar pekarangan rumah itu…”

Suaminya pun memahami apa yang ia maksudkan. Ia memujinya atas semua yang dilakukannya untuk ayahnya yang terus memandang mereka sembari tersenyum penuh keridhaan.

Sedang si bungsu kemudian adalah…menghapus gambarnya dan tersenyum.

Sumber : “Chicken Shoup For Muslim, Penerbit Sukses Publishing Hal. 20-23 via

Demikian tadi kawan artikel mengenai Kamar Untuk Orang Tua

Saturday 8 October 2011

Istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz. --- Berikut ini adalah Kisah Kehidupan Fathimah binti Abdil Malik bin Marwan, istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang begitu termasyhur dalam sejarah Islam. Kisah hidup beliau yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di dalam Muqaddimah Adabuz Zifaf ini sungguh mengesankan, dan tidak ada pertanyaan yang patut dilontarkan kepada para muslimah berkenaan dengan cerita ini melainkan, “Bisakah kalian meniru beliau?”Syaikh Muhibbudin Al-Khatib rahimahullah menuturkan,

“Di saat menikah, Fathimah binti Amirul Mukminin (Abdul Malik bin Marwan) adalah anak dari seorang ayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas wilayah Syam, Iraq, Hijaz, Yaman, Iran, Sindustan, Kaukasus, Qaram (القرم), hingga belakang sungai: arah timur: Nigeria dan Genova, arah barat: Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko Aqsa, dan Spanyol Barat.

Fathimah bukan saja putri khalifah tertinggi, tetapi juga saudara perempuan empat khalifah Islam: Al-Walid bin Abdil Malik, Sulaiman bin Abdil Malik, Yazid bin Abdil Malik, dan Hisyam bin Abdil Malik. Dan lebih dari itu, beliau adalah isteri dari khalifah paling agung yang dikenali Islam sesudah para khalifah di awal Islam, yaitu Amirul Mukminin Umar bin Abdil Aziz.

Wanita utama ini merupakan anak perempuan khalifah, isteri khalifah, dan saudari empat khalifah. Beliau keluar dari rumah ayahnya ke rumah suaminya di hari pernikahan dalam keadaan membawa berlimpah-ruah harta paling berharga yang dimiliki oleh seorang perempuan di atas permukaan bumi, berupa perhiasan dan intan permata. Ada yang mengatakan bahwa di antara perhiasannya itu dua anting Maria yang begitu masyhur dalam sejarah dan sering disenandungkan oleh para penyair.

Rumah tangga Umar bin Abdil Aziz dan istrinya berlangsung di rumah ayah Fathimah yang hidup dalam kenikmatan. Tiada seorang pun perempuan di dunia masa itu yang mempunyai kehidupan yang lebih dibandingkan Fathimah. Andaikan dia mau meneruskan gaya hidupnya di rumah suaminya maka tentu bejananya setiap hari dan setiap saat makan akan penuh dengan makanan yang paling enak, paling langka, dan paling mahal. Bila ingin menikmati segala macam kenikmatan yang dikenali manusia, niscaya beliau akan mampu melakukannya.”


Syaikh Muhibbuddin kemudian mengatakan,
“Yang saya sampaikan berikut bukanlah omong kosong kalau sesungguhnya kehidupan megah dan mewah sangat mungkin akan merugikan kesehatan orang-orang kaya, sementara orang-orang sederhana bisa menikmati kesehatan. Kehidupan yang megah bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rasa dengki, hasad, dan kebencian orang-orang miskin. Ditambah lagi, bagaimana pun cerianya kehidupan (yang mewah) lama kelamaan pun menjadi biasa dan membosankan. Apabila orang-orang yang mendapatkan puncak kenikmatan lantas bertemu dengan keadaan fakir maka jiwa mereka pun meminta lebih dari itu, dan mereka pun tidak sanggup mendapatkannya.

Sedangkan orang yang hidup seimbang mengetahui bahwa tangan mereka bisa meraih apa yang lebih dari keadaan mereka dan mereka bisa mendapatkannya kapan pun mereka mau. Hanya saja mereka lebih memilih membebaskan diri darinya dan dari segala kebutuhan mewah agar mereka bisa lebih tinggi di atasnya dan agar mereka tidak menjadi budak syahwat.

Oleh karena itu, Khalifah Agung Umar bin Abdil Aziz memilih –dalam keadaan beliau sebagai raja terbesar di muka bumi saat itu- menetapkan pengeluaran rumah tangganya hanya beberapa dirham setiap harinya. Sang isteri Khalifah, anak Khalifah, dan saudari empat khalifah itu juga ridha dengan keadaan ini. Fathimah pun menjadi sosok wanita yang dikagumi karena dia bisa menikmati rasa lezat qana’ah dan bersenang-senang dengan manisnya kesederhanaan. Sehingga lezat dan manisnya qanaah ini lebih enak dan memuaskan bagi beliau bila dibandingkan dengan semua kemewahan dan kemegahan yang sebelumnya beliau kenali.

Suami beliau, Umar bin Abdul Aziz pun kemudian menasehati beliau untuk naik dari sifat kekanak-kanakan, meninggalkan semua permainan dan barang rendahan yang dulu elok (berupa perhiasan mewah –wr1) bagi dua telinga, pundak, rambut, dan pergelangan tangannya, hal-hal yang sebenarnya tidak memberikan manfaat sama sekali yang apabila kemewahannya itu dijual, maka harganya akan bisa mengenyangkan perut para rakyat; kaum pria, wanita, maupun anak-anak.

Fathimah menyambut usul suaminya. Beliau beristirahat dari beratnya perhiasan, intan permata, dan mutiara yang telah dia bawa dari rumah ayahnya. Semuanya dia kirim ke Baitul Mal untuk kepentingan kaum muslimin.

Setelah itu Amirul Mukminin pun wafat tanpa meninggalkan apa-apa bagi isteri dan anak-anaknya. Penanggung jawab Baitul Mal datang kepada Fathimah dan berkata kepadanya, “Wahai tuanku, sesungguhnya intan permatamu masih senantiasa seperti keadaannya semula. Sesungguhnya saya memandangnya sebagai barang amanah darimu, makanya saya simpan dengan baik hingga hari ini. Saya datang untuk meminta izinmu untuk mengembalikannya.”
Namun apa jawab Fathimah? Beliau menjawab kalau dirinya telah menghibahkannya ke Baitul Mal untuk kepentingan kaum muslimin sebagai ketaatan kepada Amirul Mukminin. Beliau katakan, “Aku tidak mau menaatinya ketika dia masih hidup lantas menentangnya ketika dia sudah wafat”.

Fathimah enggan menarik kembali harta yang halal dan warisannya yang bernilai milyaran itu, walaupun pada saat itu beliau butuh beberapa dirham. Oleh karena itulah Allah menuliskan kekekalan nama bagi dirinya (namanya tetap dikenang sampai saat ini –wr1). Dan termasuklah kita saat ini menyebutkan tentang harta bendanya yang melimpah dan ketinggian derajat beliau, sedangkan kita sudah terpisah berabad-abad darinya. Semoga Allah merahmati beliau dan meninggikan tingkatannya di surga kenikmatan.

Sesungguhnya kehidupan yang paling enak ialah kehidupan sederhana dalam segala sesuatu. Betapa pun suatu kehidupan itu kurang atau nikmat maka kalau orangnya menjalani terus dia akan merasa biasa. Kebahagiaan itu ada di saat ada perasaan ridha, dan orang yang merdeka ialah orang yang bebas dari semua yang tidak dia butuhkan. Inilah kekayaan dalam pengertian Islam dan kemanusiaan, semoga Allah menjadikan kita termasuk di dalamnya.” (ulamasunnah.wp).

Selesai kutipan dari tulisan Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib di Muqaddimah Adabuz Zifaf, dapat didownload di alalbany.net

Artikel Dari : ulamasunnah.wordpress.com

Demikian tadi kawan artikel mengenai Istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Wednesday 5 October 2011

Adab Dalam Bercanda

Adab Dalam Bercanda.Sering kali kita melengkapi kehidupan ini dengan canda dan tawa. Terkadang kita memerlukan penyegaran kembali setelah lama beraktifitas dan menjalani berbagai kesibukan yang melelahkan. Di saat itulah kita dapat melepaskan lelah dan penat dengan canda dan tawa. Hal itu kerap kali terjadi pada para wanita, terkadang bermula dari pembicaraan beberapa orang (ngobrol) dan setelah itu timbul canda dan tawa (guyon).

Namun perlu diwaspadai, akankah canda tersebut menimbulkan masalah atau tidak?

Karena banyak masalah besar yang awalnya hanya diakibatkan karena bercanda
yang berlebihan. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi? Kemungkinan ada sesuatu yang salah di dalamnya.

Dalam agama Islam canda dan tawa ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau pernah bercanda dengan isteri dan sahabat beliau. Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui bagaimana adab bercanda sehingga tidak menimbulkan masalah tetapi justru berpahala yaitu dengan meneladani bagaimana adab bercanda yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ajarkan.


Bercandalah dengan Niat yang Benar

Saudariku mulailah dari niat yang benar ketika akan mengawali suatu amalan, setelah itu lakukan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam termasuk dalam bercanda. Perbuatan ini akan mejnadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan kedua syarat tersebut (niat yang lurus dan mengukuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Niat yang lurus maksudnya supaya bersemangat untuk melakukan perkerjaan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dan memperhatikan adab Rasulullah dalam bercanda.

Jangan Berlebihan dalam Bercanda dan Tertawa

Saudariku, ketahuilah. Bercanda dan tertawa yang berlebihan dapat mengeraskan hati, serta dapat menjatuhkan kewibawaan kita di hadapan orang lain.

Jangan Bercanda dengan Orang yang Tidak Suka Bercanda

Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ada tipe orang yang suka bercanda namun juga ada orang yang serius atau tidak suka bercanda. Terkadang juga ada yang mempunyai sifat perasa dan ada juga yang nyantai/ cuek. Mengenali sifat orang dalam bergaul apalagi dalam bercanda sangat diperlukan. Jangan sampai menempatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya sehingga berlaku dhzolim terhadap saudara kita. Bisa saja dengan ucapan tersebut saudara kita menjadi sakit hati, padahal kita tidak menyadari akan hal tersebut.

Saudariku, tidak dalam segala perkara kita boleh bercanda, ada hal-hal yang diharamkan kita bercanda yaitu:

1. Bercanda/ bermain-main dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala

Orang-orang bermain-main atau mengejek syari’at Allah atau Al Qur’an atau Rasulullah serta sunnah, maka sesungguhnya dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman, yang artinya,“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,”Sesungguhnya kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena engkau telah kafir sesudah beriman…”
(Qs. At Taubah: 65-66).

Ayat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengolok-olok dan berdusta dengan mengatakan bahwa Rosulullah dan shahabatnya adalah orang yang paling buncit perutnya, pengecut dan dusta lisannya. Padahal laki-laki ini hanya bermaksud untuk bercanda saja. Namun bercanda dengan mengolok-olok atau mengejek syari’at agama dilarang bahkan dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran.

2. Berdusta saat bercanda

Ada sebagian orang yang meremehkan dosa dusta dalam hal bercanda dengan alasan hal ini hanya guyon saja untuk mencairkan suasana.

Hal ini telah di jawab oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,“Aku menjamin sebuah taman di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yag baik akhlaknya.”
(HR. Abu Daud)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda, namun tetap jujur serta tidak ditambahi kata-kata dusta. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku juga bercanda, dan aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”
(HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir)

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah seorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.”
(HR. Ahmad).

Dusta dalam bercanda bahkan sering ditemui bahkan dijadikan tontonan seperti lawak yang dijadikan sebagai hiburan di televisi dan sepertinya sudah akrab dan tidak lagi disalahkan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Apabila kita mau merenungi hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentunya kita tidak akan berani untuk berdusta sekalipun dalam bercanda.

3. Menakuti-nakuti seorang muslim untuk bercanda

Tidak diperbolehkan menakuti seorang muslim baik serius atau bercanda. Bayangkan apabila kita membuat terkejut seseorang, padahal beliau mempunyai sakit jantung. Perbuatan ini dapat membuat mudharat yang lebih besar, yaitu dapat mendadak meninggal dengan sebab perbuatan tersebut.

Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya baik bercanda ataupun bersungguh-sungguh, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikan.”
HR. Abu Daud).

4. Melecehkan kelompok tertentu

Ada juga orang yang bercanda dengab mengatakan “Hai si hitam” dengan maksud menjelek-jelekkan penduduk dari daerah tertentu yang asal kulitnya adalah hitam.

Hal ini tidak diperbolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan jangan suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”
(Qs. Al-Hujuraat: 11)

Yang dimaksud dengan “Jangan suka mencela dirimu sendiri”, ialah mencela antara sesama mukmin, sebab orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

5. Menuduh manusia dan berdusta atas mereka


Misalnya seorang bercanda dengan sahabatnya lalu ia mencela, menuduhnya atau mensifatinya dengan perbuatan keji. Seperti seseorang berkata kepada temannya, “Hai anak zina.” Tuduhan ini bisa menyebabkan jatuhnya hukum, karena menuduh ibu dari anak tersebut telah melakukan zina.

Bercandalah kepada Orang yang Membutuhkan

Bercandalah kepada anak-anak seperti yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Hai dzul udzunain (wahai pemilik dua telinga).”

Dari hadits ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta walaupun dalam keadaan bercanda dan beliaulah orang yang paling lembut hatinya.

Saudariku, semoga Allah menjaga kita dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan dapat menjadikan setiap detik kita amalan yang diberkahi. Wallohul musta’an.

Diringkas dari buku Panduan Amal Sehari Semalam pada bab “Bercanda Boleh Saja, Tetapi…” dengan sedikit perubahan dan tambahan dari kitab Al Irsyad oleh Ummu Salamah.

Demikian tadi kawan artikel mengenai Adab Dalam Bercanda